oklaro

oklaro

oklaro

oklaro

oklaro

oklaro

oklaro

oklaro

oklaro

oklaro

oklaro

Slot Gacor https://ojs.uscnd.ac.id/ https://lpm.uscnd.ac.id/ https://aplikasi.ppdu.ponpes.id/pon/ GB777 GB777 GB7771

Perjuangan Sosial Ekonomi dan Politik APENMASI dan LaNyalla untuk Indonesia yang Lebih Baik

Redaksi - Tak Berkategori
  • Bagikan

Hafid Abbas

Ketua Himpunan Pendidikan Masyarakat Indonesia

Mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kofi Annan (2005) pernah mengatakan: "Keluarga manusia tidak akan menikmati pembangunan tanpa keamanan, tidak akan menikmati keamanan tanpa pembangunan, dan tidak akan menikmati keduanya tanpa menghormati hak asasi manusia. "

Dengan mempertimbangkan kata-kata Kofi Annan, publikasi Bank Dunia, Indonesia's Rising Divide (2016), menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam bahaya perpecahan dan kemerosotan. Menurut Bank Dunia, empat faktor mengancam keselamatan negara ini di masa depan.

Pertama, ada ketimpangan dalam menciptakan peluang bagi seluruh warga negara untuk meningkatkan kemampuannya agar dapat maju dan berhasil. Ada kelompok-kelompok tertentu yang memiliki peluang paling besar untuk pembangunan dalam domain ekonomi, sosial, dan sosial. Beberapa, di sisi lain, dikecualikan dan ditinggalkan.

Kedua, orang miskin semakin tertinggal dan menjadi lebih miskin karena mereka tidak memiliki kualifikasi yang diperlukan untuk bersaing dengan kelas atas di sektor ekonomi modern. Akibatnya, dengan pengetahuan dan keterampilan yang terbatas, mereka hanya dapat menemukan pekerjaan di ekonomi informal dengan upah rendah. Selain itu, kesenjangan ekonomi mereka dengan kelompok etnis minoritas yang lebih kaya meningkat.

Ketiga, di negara ini, konsentrasi uang dan sirkulasi modal hanya berpusat pada beberapa orang atau beberapa perusahaan kelompok minoritas. Akibatnya, menurut Kementerian BUMN (2019), 56.534.592 UMKM (99,99 persen) tersisih dari dukungan perbankan. Selain itu, mereka yang miskin, seperti petani miskin dan nelayan, tidak tersentuh oleh subsidi bank.

Keempat, Bank Dunia terkejut bahwa Indonesia dianggap busuk dari dalam karena orang-orang miskin, yang mayoritas tidak memiliki sumber daya untuk membayar pendidikan anak-anak dan keturunan mereka, serta menabung untuk tagihan kesehatan di masa tua mereka (hlm. 28).

Akibat keempat faktor tersebut, perpecahan dan kemerosotan Indonesia semakin meluas hingga akhirnya pecah.

Anehnya, sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim bahwa 80 persen aset orang kaya Indonesia disembunyikan di Singapura (Straits Times, 21/7/2016), Presiden Jokowi mengklaim bahwa Rp 11.000 triliun uang rakyat kaya juga disembunyikan di berbagai negara (Setkab, 6/12/2016).

Hal ini menarik perhatian Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Ia berkomentar, "Dibandingkan dengan negara lain, kesenjangan di Indonesia agak berbahaya. Di Thailand, orang kaya dan miskin mempraktikkan agama yang sama. Di Filipina, orang kaya dan miskin mempraktikkan iman yang sama. Sementara itu, orang Indonesia kaya dan miskin mengamalkan berbagai agama." (Warta Ekonomi, 26 Februari 2017).

Lebih lanjut, JK menjelaskan bahwa di Indonesia sebagian besar orang kaya adalah orang-orang keturunan Konfusianisme atau Kristen, sedangkan yang miskin kebanyakan beragama Islam dan ada juga yang beragama Kristen.

LaNyalla: Ketidakadilan adalah Sumber Kemiskinan

Kembali ke pernyataan Kofi Annan, suatu bangsa tidak akan bisa hidup damai atau tumbuh jika rakyatnya tidak dimanusiakan dan diperlakukan secara adil. Menurut Bank Dunia, Indonesia tidak hadir untuk memberikan keadilan kepada rakyatnya.

Menurut LaNyalla, titik awal resesi dan kemiskinan massal adalah ketidakadilan yang disebabkan oleh kegagalan kebijakan politik dan ekonomi negara itu. Dan kesalahan perhitungan ini menjadi lebih sah sebagai akibat dari Amandemen Konstitusi negara dari tahun 1999 hingga 2002. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Nasional Indonesia telah bergeser dari rencana awal yang disusun oleh para pendiri bangsa (Haluan, 15/6/2022).

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia sebenarnya telah dirancang dengan sangat teliti oleh para pendiri bangsa ini. Bahkan sudah menjadi tujuan nasional, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mengedukasi anak bangsa. Inti dari cita-cita yang berujung pada lahirnya bangsa ini adalah mewujudkan Sila-sila Tertinggi Pancasila, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Para founding fathers bangsa, khususnya Muhammad Hatta, menyiapkan redaksi Pasal 33 UUD 1945 dengan sangat hati-hati. Bahkan Pasal tersebut, dalam Naskah Asli UUD 1945, ditulis dalam Bab Kesejahteraan Sosial. Artinya jelas, negara ini sebenarnya menganut sistem negara kesejahteraan yang adil, atau Negara Keadilan Kesejahteraan. Kontrol negara atas sumber daya alam didasarkan pada kedaulatan negara dan digunakan untuk kepentingan maksimal kemakmuran rakyat, bukan untuk kelompok minoritas tertentu.

Menurut LaNyalla, adanya Ambang Batas Presiden dalam proses pemilihan pemimpin nasional merupakan salah satu syarat yang menginisiasi infiltrasi Oligarki Ekonomi untuk menyandera kekuasaan dan memaksa kekuasaan untuk berdiri bersama mereka.

Biaya konsolidasi partai politik yang dipaksa menjadi koalisi untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden bangkit dari sana. Biaya ini adalah titik di mana Oligarki Ekonomi dapat membiayai dan menahan kekuasaan.

Akibatnya, sebelum terlambat, Ambang Batas Presiden harus segera dikurangi menjadi nol persen, dan UUD 1945 harus direvisi kembali sesuai dengan semangat pembukaan, atau UUD 1945 harus segera dikembalikan ke bentuk semula sebelum diamandemen pada tahun 1999.

APENMASI dan Perang Melawan Kemiskinan

Sesuai dengan pandangan Kofi Annan yang mensyaratkan adanya pembangunan, perdamaian dan ham secara seimbang dan terintegrasi secara harmonis dalam setiap lini kehidupan suatu bangsa, serta urgensi untuk mencegah pembesaran Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik, Ikatan Pendidikan Masyarakat Indonesia (APENMASI) tersebar di sejumlah PTN (Perguruan Tinggi Negeri) dan PTS (Perguruan Tinggi Swasta) telah menghadirkan agenda strategis yang berfokus pada kemiskinan Pengentasan.

APENMASI merupakan wadah bagi para ahli, peneliti, ilmuwan, dan praktisi pendidikan publik yang tersebar di berbagai PTN (Perguruan Tinggi Negeri) dan PTS (Perguruan Tinggi Swasta) di seluruh negeri yang telah memberikan perhatian khusus untuk terus bekerja melalui kegiatan tri dharma mereka untuk membebaskan bangsa ini dari segala bentuk kemiskinan dan keterbelakangan.

Pada 6 Maret 2019, Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, mengumumkan APENMASI sebagai gerakan nasional di Istana Wakil Presiden. Dalam Agenda tersebut, 18 kategori sasaran individu didefinisikan memiliki tingkat kerentanan sosial dan ekonomi yang tinggi, seperti petani miskin, masyarakat adat, pekerja migran, anak-anak yang kekurangan gizi, dan sebagainya. Ada 128 tujuan strategis sejati dari jumlah itu yang telah dan akan terus diimplementasikan dalam berbagai tindakan tri-dharma untuk membebaskan rakyat dari beban kemiskinan.

Agenda ini dapat ditempuh oleh seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi untuk membebaskan masyarakatnya dari kemiskinan dengan menggandeng perguruan tinggi negeri dan swasta setempat.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan nasional untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia (Pasal 31 Ayat 5).

Kehadiran 4593 perguruan tinggi (Dikti, 2020) harus menjadi alat pemersatu bagi bangsa karena menghasilkan sdm unggul yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta berinovasi untuk kemajuan peradaban modern dan pemuliaan umat manusia. Perguruan tinggi negeri dan swasta harus menjadi "Otak Negara" untuk membebaskan bangsa ini dari segala bentuk keterbelakangan.

Terakhir, APENMASI saat ini memperkuat kelembagaannya di seluruh PTN dan PTS yang memiliki Program Studi Pendidikan Masyarakat atau Program Studi sejenis dengan bermitra dengan semua pihak yang diperlukan di pusat dan daerah untuk membebaskan masyarakat sekitar dari segala jenis keterbelakangan. Orang miskin dan kurang beruntung telah dipekerjakan sebagai laboratorium sosial melalui Program Studi ini, mirip dengan Pusat Studi yang didirikan oleh Muhammad Yunus di Universitas Dhaka di Bangladesh untuk membebaskan rakyatnya dari kemiskinan, yang membuatnya mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2006.

  • Bagikan