Oleh : Eko Prasetyo (Almarhum)
Ketika Bung Karno turun dari kepemimpinan nasional (1967), di kalangan masyarakat UUD 1945 dirasakan telah digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. UUD 1945 tidak lagi dimanaknai landasan hukum hidup bernegara yang dijiwai oleh Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila melainkan hanya dijadikan sebagai seperangkat pasal-pasal yang dipahami secara sepihak berdasarkan kepentingan kekuasaan.
Hal ini yang mungkin membuat masyarakat kurang peduli dan tidak mewaspadai ketika amandemen UUD 1945 dilakukan.
UUD 1945 disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945. Naskan UUD 1945 diambil dari isi Piagam Jakarta setelah dihilangkan anak kalimat 7 kata “dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” pada alinea keempat.
Dalam kurun waktu 1945-1949, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklimat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa Komiter Nasional Indonesia Pusat (KNIP) memegang kekuasaan legislative, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet Parlementer yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan penyimpangan UUD 1945 yang menganut sistem Presidensial. Pada tanggal 27 Desember 1949, Indonesia membentuk Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia memberlakukan UUD Sementara 1950.
Karena situasi politik pada sidang konstituante 1959 di mana terjadi saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal mengahasilak UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1949, Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Dekrit tersebut dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR-GR pada tanggal 22 Juli 1959.
UUD Tahun 2002
UUD 1945 Pada kurun waktu 1999-2002 UUD 1945 mengalami empat kali perubahan (amandemen). Amandemen pertama dilakukan pada Sidang Umum MPR 1999, Sidang Umum MPR 2000, Sidang Umum MPR 2001 dan Sidang Umum 2002. Perubahan yang dilakukan atas UUD 1945 telah merusak tatanan perundang-undangan yang telah disusun para pendiri bangsa.
UUD yang ada saat ini sudah seharusnya tidak disebut sebagai UUD 1945 lagi, namun UUD 2002 karena sejumlah perubahan telah menghilangkan banyak substansi dasar dari dasar perundangan ini. Namun rupanya para pengubah UUD ini tidak mau mengakuinya.
Beberapa pakar hukum ketatanegaraan mempersoalkan amandemen tersebut. Menurutnya amandemen 1945 telah kebablasan.
Sejumlah perubahan mendasar yang terjadi seperti, saat ini bangsa Indonesia tidak lagi memiliki Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menjadi arah pembangunan; berubahnya struktur ketenegaraan dan sistem politik (Misalnya: perubahan kedudukan dan fungsi MPR; Presiden dipilih secara langsung, padahal pada sila 4 Pancasila terwacana demokrasi melalui permusywaratan perwakilan; dan lain-lain), ekonomi dan sosial budaya menuju liberalisme dan kapitalisme yang makin jauh dari cita-cita pendidi bangsa.
Demikian UUD 1945 yang telah diamandemen itu justru menjadi tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan Pancasila.
Maka bukan hal yang berlebihan jika UUD yang ada sekarang dapat disebut sebagai UUD 2002 (bukan UUD 1945). Seharusnya semua masyarakat, khususnya para anggota parlemen menyadari namanya saja undang-undang dasar sehingga mengatur hal-hal pokok. Sehingga aturan lain yang berkenaan dengan hal terperinci bisa di atur dalam undang-undang di bawahnya.
Tuntutan Reformasi
Jika spirit berbagai macam perubahaan yang ada saat ini adalah tuntutan reformasi, maka perlu diingat bahwa tidak satupun tuntutan reformasi yang mengharapkan perubahan UUD 1945. Salah satu isu terhangat pasca reformasi adalah masa jabatan presiden.
Rupanya dalam perjalanannya, isu ini diarahkan pada perubahan pasal 7 UUD 1945. Pada pasal ini disebutkan bahwa masa jabatan presiden adalah selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Kata “sesudahnya” bisa diartikan sebagai masa jabatan pertama.
Namun rupanya pasal tersebut telah melahirkan tafsir tunggal yaitu bahwa presiden bisa dipilih berkali-kali. Padahal redaksi pasal ini bukanlah berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali setiap periode pemilihan presiden dan wakil presiden”. Rupanya kesalahan penafsiran akan UUD 1945 membuat anggota legislative kala itu malah “menyalahkan” UUD 1945 sehingga harus merubah UUD 1945 yang disusun dengan kesungguhan dan perdebatan berkualitas yang dilakukan para pendiri bangsa ini.