Pengeboman gereja, pembakaran rumah ibadah, pengkafiran terhadap sesama muslim, aksi sweeping terhadap buku-buku dan warung-warung di bulan Ramadhan, dan aksi-aksi kekerasan lainnya disinyalir terinspirasi dari satu doktrin yang disebut al-Wala dan Al-Bara, sebuah konsep cinta-loyal dan benci-disloyal yang menjadi akar kekerasan atas nama agama.
Fenomena seperti ini mendorong Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy bekerjasama dengn LSIN dan Kliksaja.co Network untuk membedah lebih jauh konsep al-Wala dan al-Bara dalam diskusi via Zoom.
Diskusi mingguan yang diselenggarakan pada hari Minggu (05/12/2021) kali ini bertemakan ‘al-Wala dan al-Bara: Melacak Genealogi Konsep dan Implikasinya bagi Ekstrimisme Beragama’.
Dalam diskusi virtual ini, turut hadir sebagai pembicara: M. Khoirul Huda (Dosen Ushuluddin UIN Jakarta dan penulis buku Al-Wala dan al-Bara) dan Abdul Aziz (Direktur Riset Bidang Budaya dan Agama Dialektika Institute). Diskusi ini dimoderatori oleh Muhtar Nasir (Pimred Kliksaja).
Di awal diskusi, Huda menjelaskan minimnya literatur yang mengulas al-Wala dan al-Bara dalam bahasa Indonesia. Literatur terkait tema al-Wala dan al-Bara justru banyak tersedia dalam bahasa Arab dan Inggris. Menurutnya, perlu ada suatu karya yang sistematis membahas al-Wala dan al-Bara dalam bahasa Indonesia, dan buku yang berjudul Al-Wala dan Al-Bara, Bukan Rukun Iman, Namun Dijadikan Dasar Mengkafirkan Muslim merupakan salah satu usaha untuk mengisi kekosongan literatur ini.
Kontroversi
Huda memaparkan bahwa konsep al-wala dan al-bara merupakan konsep yang cukup kontroversial di Timur Tengah. Ada banyak ulama yang berselisih pendapat soal orisinalitas konsep ini. Huda mengklasifikasikan pandangan ulama terkait ini menjadi tiga: pertama, ulama yang menolak paham al-wala dan al-bara.
Ulama dari al-Azhar seperti Syeikh Ali Jum’ah dan Tahir al-Ulwani biasanya menyebut konsep ini sebagai tidak ada dalam tradisi Islam. Al-wala dan al-bara adalah konsep baru dan bahkan bid’ah. Dan jika dilacak dalam kitab Tabaqat al-Hanabilah, jelas Huda, Imam Ahmad bin Hanbal menyebut paham al-wala dan al-bara sebagai bid’ah;
Kedua, ulama yang menerima al-wala dan al-bara sebagai bagian dari akidah Islam. Beberapa gerakan Salafi Jihadi, Tarbiyah dan Salafi Wahabi menganut pandangan seperti ini dan menurut Huda tafsir mereka terhadap konsep ini sering dijadikan legitimasi untuk melakukan pengkafiran dan eksekusi kekerasan.
Ketiga, ulama yang menerima doktrin al-wala dan al bara namun dengan mengetengahkan tafsir yang moderat. Syarif Hatim al-Awni dan Syeikh Abdullah bin Bayah masuk ke dalam kategori ini. Syarif Hatim Al-Auni menekankan bahwa konsep al-wala dan al-bara merupakan bagian dari Islam hanya saja banyak kelompok ekstremis yang salah memahami penggunaannya, terutama dalam mengkafirkan orang lain.
Huda menjelaskan pandangan al-Auni secara lebih jauh yang intinya prinsip al-Wala dan al-Bara tidak bertentangan dengan nilai-nilai toleransi, kerahmatan dan nilai-nilai moderasi beragama. Al-Auni, kata Huda, melepaskan al-Wala dan al-Bara ini dari pengertian yang ekstrimnya. Huda juga mengetengahkan pandangan Syeikh Bayah bahwa al-wala dan al-wara tidak bertentangan dengan semangat nasionalisme.
Diadopsi ISIS
Hanya saja menurut Huda, pengertian al-wala dan al-bara yang ekstrim itu yang justru cukup mendominasi. ISIS di tahun 2011 mengadopsi lebih jauh konsep ini. “Sangat sedikit yang mengemukakan doktrin ini, namun cukup berisik,” jelas Huda.
Huda juga menjelaskan secara genealogis, konsep ini bisa dilacak pada pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab dan jika dilacak lebih jauh, dapat ditemukan pada pemikiran Ibnu Taymiyyah, terutama ketika ulama Hanbali ini merespons secara keras hukum Ilyasiq, suatu hukum Mongol yang menurut Huda merupakan campuran dari berbagai kebudayaan dan agama yang ingin diterapkan di era Ibnu Taymiyyah.
The Self and The Other
Sementara itu, Abdul Aziz dari Dialektika Institute mengawali pemaparannya dengan mengaitkan konsep al-wala dan al-bara ini dengan problem identitas dalam studi-studi Cultural Studies, Discourse Analysis dan Critical Discourse Analysis. Dalam studi budaya, misalnya, konsep yang berdekatan dengan problem identitas ini diekspresikan dalam ulasan mengenai The Self and The Other.
Dalam studi wacana, van Dijk mengistilahkannya dengan sebutan The Good Us dan The Bad Them atau istilah in-group dan out-group. “Kalau kita gunakan istilah keagamaan, al-wala itu ialah The Good Us, identitas kita yang baik yang meliputi kelompok yang beriman, dan al-bara itu ialah The Bad Them, identitas mereka yang buruk yang meliputi orang-orang kafir, musyrik dan seterusnya. Al-wala atau sikap loyal dan cinta diberikan kepada kaum beriman yang The Good Us, yang in-group dan al-bara atau sikap benci dan disloyal diberikan kepada orang-orang kafir yang Bad Them, yang out-group,” jelas pria yang sering disapa Kang Aziz ini.
Aziz menjelaskan lebih jauh bahwa konsep al-Wala dan al-Bara merupakan konsep yang sangat quranik dan islami sama seperti konsep jihad, amar ma’ruf dan nahi munkar dan konsep-konsep lainnya.
Hanya saja, kata Aziz, dalam literature keislaman, tafsir terhadap konsep ini sangat dinamis, mulai dari yang ekstrim dan radikal seperti pada contoh di atas sampai ke yang moderat dan toleran.
“Di era kenabian, secara praktik, konsep ini bersifat cair. Maksudnya identitas yang mengisi siapa saja yang diberikan al-wala dan al-bara itu tidak saklek seperti yang ada di era sekarang. Dulu di era kenabian, praktik al-wala ini bisa dilakukan terhadap berbagai identitas seperti Yahudi, Kristen, atau kaum musyrik yang melakukan perjanjian dengan Nabi dan al-bara ini diberikan kepada kaum musyrik yang memusuhi Nabi dan Islam,” jelas Aziz.
Aziz mencontohkan misalnya perjanjian Nabi dengan Kristen Najran dimana isi perjanjiannya ialah bahwa Umat Islam wajib membantu umat Kristen untuk perbaikan gereja dan hal-hal lain terkait urusan keagamaan jika memang diperlukan. Menurut Aziz, praktik janji Nabi ke Umat Kristen ini merupakan salah satu bentuk ekspresi dari al-wala. Atas dasar ini, Aziz menyayangkan peralihan makna al-wala dan al-bara ini dari yang bersifat cair di era kenabian menjadi bersifat kaku di era modern, dan terkesan ekstrim dan apalagi sering dijadikan legitimasi untuk berbuat kekerasan atas nama konsep ini.
Aziz misalnya menyebut pandangan Salih al-Fawzan yang membekukan tafsir al-wala dan al-bara ini terkait persoalan-persoalan kebudayaan lalu menariknya ke dalam ranah akidah. Salih al-Fawzan menyebutkan bahwa di antara memberikan al-wala kepada orang-orang kafir ialah menggunakan baju dan bahasa orang kafir, jalan-jalan ke negeri kafir, tinggal di negeri kafir, memakai kalender kafir dan seterusnya. Seorang muslim yang melakukan demikian berarti sudah wala ‘cinta dan loyal’ ke orang kafir dan bara ‘benci dan disloyal’ terhadap Islam. Karenanya, kata al-Fawzan, muslim seperti ini disebut kafir juga.
“Pandangan seperti ini jelas sangat sempit dan cukup berbahaya,” jelas Aziz.